Wednesday, October 15, 2008

revise

A wife without husband

#1.

March 1st, 2007

Waktu itu adzan dhuhur baru berkumandang, aku baru lepas penatku setelah setengah hari dikelas. Baru satu teguk air  dimejaku menyentuh kerongkonganku saat wanita paruh baya itu tergopoh-gopoh membawa Play Station masuk ke ruang guru. Dibantu bapak mekanik yang juga guru fisika, Play Station yang sekiranya rusak itu ternyata sudah berfungsi lagi dengan satu sentuhan mahirnya.

Bunda Zaqi terlihat lega saat PS yang baru dibelinya sehari lalu sudah bisa dibawa pulang dlm keadaan utuh lagi. Beliau mulai bercerita saat semua mata menyalahkannya karena membelikan mainan candu itu pada putranya.

Ali, putra keduanya sudah berani mencuri uang saku abangnya untuk sewa PS tetangga. Dan itu bukan yang pertama kali. Sebagai single parent Bunda harus menggantikan peran ayah mereka yang meninggal karena kanker 6 bulan lalu.

Saat keduakalinya Ali mencuri, saat itulah kesabarannya lenyap. Dengan gagang sapu, Ali dihajarnya. Wajah bocah kelas 2 SD itu lebam, membiru. Ali tidak melawan, karena dasarnya ia anak yang penurut, dan ia sadar ialah yang bersalah. Ali menangis dalam hati, tak sedikitpun keluar dari mulutnya tentang gagang sapu itu. Pun saat ditanya oleh guru-guru yang menaruh curiga pada biru diwajahnya.

Kalau Ali menangis dalam hati maka bunda menjerit dalam diam. Hatinya sudah tak berwajah. Bagi seorang ibu penderitaan anak adalah sakit sejati yang terasa sampai di sumsum. Maka dua malam itu, bantal tidur mereka selalu basah air mata. Demi cintanya pada sang anak yatim, dalam kesederhanaannya tetap bunda berusaha membeli sinar mata sang buah hati. Maka hadirlah PS itu dgn berbagai cara.

Allah terlalu sayang pada bunda, karenanya cerita tentang tragedy PS ini masih berbuntut. Baru sehari sampai ditangan sang buah hati ternyata PS terjatuh dan rusak . Waktu itu Ali yang masih lugu berteriak “Bunda kok beli buat Ali yang bodol (jelek/rusak) !” Untuk kesekian kalinya hati bunda hancur berkeping-keping. Namun alhamdulillah PS tidak ikut hancur, karena  tangan bapak mekanik yang baik hati masih bisa memperbaikinya.

Bunda Zaqi menutup kisah hari itu dengan mata berkaca-kaca, “Andai bapaknya anak-anak masih ada, ceritanya tidak begini Neng Nurul” suaranya terdengar lirih. Aku hanya bisa memberi senyum termanis, karena semua kata selayaknya menjelma menjadi doa saja, agar Allah menjaga sekeping hati yang telah hancur itu tak padam cahayanya.

Maka Allah mengirim bunda zaqi untukku, agar aku tetap bersyukur.

Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan Kami akan memperhatikan sepenuhnya kepadamu hai manusia dan jin.. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? (QS Ar-Rahman:29-31)

<a href="http://ummif2.multiply.com/journal">Cerita tentang pertemuanku dgn bunda zaqi</a>

No comments:

Post a Comment