Saturday, October 30, 2010

EPISODE AKU DITITIK NOL (Lomba menulis dan jilbab pertamaku)

Rating:
Category:Other

Bercerita tentang sejarahku berjilbab bukanlah hal yang mudah bagiku. Mengapa? Karena sejarah itu Tidak saja bercerita tentang kisah jilbab pertamaku tapi juga tentang ibuku, yang mungkin saja dipandang aib bagi sebagian orang. Namun bagiku sejarah itu menyimpan ibroh luar biasa yang darinya bisa kupetik banyak hikmah.

Terlahir sebagai anak perempuan tunggal dari 4 bersaudara tidak membuatku teristimewa dirumah kami. Hanya saja karena aku anak perempuan satu-satunya maka ibuku lebih sering mmendandaniku. Kupikir itu wajar saja, seorang ibu senang memakaikan perhiasan dan aksesoris yang bersifat ‘girly’ pada putrinya.

Saat awal masuk SMA aku mulai aktif di DKM SMA ku. Saat itulah aku mulai mengenal Islam lebih dalam. Alhamdulillah aku mengenal tarbiyah di bawah bimbingan murabiyahku (almarhumah teteh solihah) yang juga alumni SMA ku. Banyak hal yang kupelajari bersama beliau. Bahkan beliau bukan saja mengajariku berjilbab tapi juga ‘mengantarku’ bertemu jodohku. Beliau tidak sekedar murabiyah bagiku, tapi juga sahabat, kakak, sekaligus ibu kedua bagiku.

Aku sangat terkesan ketika beliau menyampaikan bahwa seorang wanita berjilbab tidak hanya terjaga auratnya dari pandangan non muhrim tapi lebih dari itu, Allah menjaga wanita berjilbab saat terjaga maupun dalam tidurnya. Sejak saat itu aku sudah tidak bisa menahan diri untuk segera berjilbab lebar seperti beliau. Dalam benakku kala itu terbayang indah dan nyamannya berjilbab, 24 jam penuh dalam penjagaan Allah siang dan malam.

Kuutarakan niatku berjilbab pada ayah dan ibuku. Ayah yang masih tinggal diluar kota karena berdinas langsung menyambut baik niatku. Namun ternyata ibuku berpikir lain. Ibu tidak setuju bahkan menentang keras dengan berbagai alasan. Dari mulai alasan jilbab menyulitkan datangnya jodoh dan masa depanku, jilbab menghalangi tata rias wajah dan rambutku, jilbab menyulitkanku mencari pekerjaan hingga alasan bahwa jilbab itu kuno. Kala itu aku masih kelas 1 SMA, bahkan dibulan pertama masuk SMA, akhir juli ditahun 1994. Tahun itu jilbab belum semarak seperti saat ini, jilbab masih asing jauh dari mode.. Saat itu aku tidak bisa melawan ibu yang masih temperamental. Aku hanya bisa menangis dalam do’a. Aku tak ingin karena jilbabku hubungan kami sebagai ibu dan anak tercerai berai. Namun akupun sudah tidak bisa menahan diri untuk segera menutup auratku. Siang dan malam hatiku gelisah, diluar rumah aku tidak percaya diri, aku didera rasa malu dihadapan Allah.

Tanpa menyerah kuberanikan diri bicara lagi pada ibuku, meminta restunya lagi satu kali, dua kali hingga ketiga kalinya. Namun ibu tak bergeming meski melihatku menangis tersedu-sedu dengan surat An-Nisa di tanganku. Alhamdulillah pada masa-masa itu murabiyahku melerai dukaku dengan sabar, menasehatiku untuk tetap menghormati ibuku tanpa putus asa memperjuangkan jilbabku.

Untuk seorang anak SMA yang tak berpenghasilan, sulit sekali membeli jilbab berikut seragam abu-abu panjang. Namun ternyata bukan itu masalahnya karena beberapa kakak kelasku menghadiahkanku jilbab mereka dengan cuma-cuma. Permasalahannya ‘hanya’ pada lampu hijau yang tidak diberikan ibuku.

Akhirnya kudiskusikan dengan kakak sulungku yang saat itu sedang kuliah diluar kota. Alhamdulillah Aa ku sangat mendukung, bahkan beliau membelikanku seragam sekolah muslimah meski tentu memancing kemarahan ibu kami. Akhirnya aku mantap berjilbab meski tanpa restu ibu. Bismillah...

Pada awal September itu aku berjilbab. Meski begitu aku tetaplah anak perempuan ibuku, tak berkurang sedikitpun rasa sayang dan hormatku padanya. Bahkan sejak berjilbab ku tunjukkan pada ibu bahwa dengan jilbabku aku semakin menyayanginya, aku semakin perhatian padanya, dan mencoba menjadi seperti yang ibu mau. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah seluruh pekerjaan rumah dari mencuci, hingga memasak sudah kuselesaikan.

Namun usahaku tetap tak berhasil merebut hati ibu. Sejak aku berjilbab, ibu menyatakan perang denganku. Beliau bersikap dingin, seperti tak mengenalku. Tak ada uang untuk les, untuk sekolah apalagi untuk jajanku. Selama 2 minggu aku hidup bagai terasing dirumahku sendiri. Aku mersa berada dititik nol. Bernyawa tapi tak berasa. Aku setengah mati.

Untunglah kedua adikku begitu toleransi, mereka menyisihkan uang jajan mereka bahkan makanan mereka untukku. Sedih sekali, hancur hatiku tanpa senyum ibuku. Bahkan ibu tak mau satu becak denganku, malu katanya. Rasanya dunia runtuh saat itu, kurasa seisi bumi memusuhiku. Meski begitu, ada rasa bahagia dengan jilbabku aku merasa terlahir kembali. Sensasi kebahagiaan yang tak bisa ku lukiskan dengan apapun juga. Masa-masa itu aku sering menangis dalam sholatku, antara tangis suka cita dan lara yang datang silih berganti. Tak henti ku mohon pada sang penggenggam hati agar melembutkan hati ibuku.

Sungguh Allah Maha Membolak-balik hati , lambat laun ibu mulai mau memandangku, mau menjawab salamku, mau menegurku. Meski saat itu progresnya sangat lambat namun syukurku tak terhingga, do’aku terkabul sudah.

Tak akan pernah ada yang menyangka aku dan ibuku tersayang pernah menjalani episode dititik nol ini. Episode kehidupan yang darinya aku terlahir kembali menjadi anak perempuan yang lebih tegar, lebih kuat, dan lebih menyayangi ibunya. Dan dari episode ini ibupun terlahir kembali menjadi ibu yang lebih bijak, lebih mengenal Allah dan Rasul-Nya, dan lebih mengenal puteri semata wayangnya. Tak pernah terkira diakhir episode ini Ibu minta diajari berjilbab pada puterinya. Oh Allah, hidayah-Mu sungguh manis nian...

Ditulis tidak semata utk ikut lombanya uni Dian (http://cambai.multiply.com/journal/item/339/Lomba_Menulis_Tema_Jilbab_Pertama_ku..._?replies_read=159) , tapi juga berbagi sejarah hidupku yang tak pernah diabadikan dalam kata-kata kecuali pada Alm. murabiyahku, sejarahku dibawanya hingga akhir hayatnya.