Wednesday, April 11, 2007

Model pendidikan IPDN

Model Pendidikan IPDN, Cermin Citra Pemimpin Bangsa


IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri) yang dahulu dikenal dengan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) sepertinya kembali berkibar lagi dengan mencetak ‘prestasi’ yang tidak kalah seru seperti tahun-tahun sebelumnya. Setelah pada tahun-tahun yang lalu melahirkan para pembunuh Ery Rahman dan Wahyu Hidayat  tahun ini tercatat lagi ‘prestasi’ baru, mencetak pembunuh-pembunuh Cliff Muntu. Maka tidak mengherankan jika reaksi masyarakat kali ini terkesan reaktif terhadap ‘prestasi’ IPDN. Kalau sebelumnya para lulusan serta alumni IPDN berhak menyandang gelar "SSTP" (“Sarjana Sains Terapan Pemerintahan”) maka sudah selayaknya mulai tahun ini para lulusannya layak dengan predikat SP (Sarjana Pembunuh atau setidaknya Sarjana Pembantai).


Kasus yang terjadi berulang kali di kampus IPDN ini tidak bisa dipandang kasus biasa saja. Hal ini menjadi sangat luar biasa karena menyangkut hajat hidup sebuah bangsa. Bukankah IPDN adalah sekolah untuk mencetak para calon pemimpin bangsa ini? Yang sedianya melahirkan para calon birokrat pemegang kekuasaan, sang pengambil keputusan? Apa jadinya negeri ini bila nanti dipimpin oleh para pemimpin/birokrat yang gila hormat dari bawahan? Pemimpin/birokrat yang selalu menindas bawahan? Pemimpin/birokrat yang selalu mengedepankan otot bukan otak? Maka terjawab sudah mengapa di negeri tercinta ini banyak pejabat yang penjahat. Naudzubillahi mindzalik.


Jika selama ini rektorat IPDN berdalih mengkambing hitamkan oknum yang bersalah, maka patut dipertanyakan kredibilitasnya sebagai pemimpin. Secara logika, jika memang ada oknum yang bersalah, sewajarnya setelah oknumnya diciduk tentu kasus selesai, tidak terus berulang sebagaimana yang terjadi saat ini. Kasus pembantaian di kampus calon-calon pegawai negeri ini sepertinya sudah menjadi karakter. Karakter pendidikan berbau militer ini seakan sengaja dibentuk dan dikukuhkan, terbukti hingga tahun ini budaya ‘hantam kromo’ ini diwarisi. Padahal sejak kasus pertama korban pembantaian di STPDN tercium media massa (1994) dengan korban tewas Gatot (asal Jawa Timur), budaya kekerasan di lingkungan pendidikan ini sudah dikecam massa.


Militerisme adalah "kanker" bagi masyarakat sipil yang mengancam democratic civility. Kepemimpinan militer hampir dipastikan akan diikuti dengan penerapan nilai-nilai, kebiasaan dan organisasi militer dalam dunia sipil. Sekali seorang perwira menduduki jabatan gubernur atau presiden, pasti dia akan menerapkan cara-cara militer dalam metode kepemimpinan, cara pengorganisasian dan cara memperlakukan anak buah. Biasanya sang pimpinan selalu mengutamakan disiplin, loyalitas, budaya ketakutan dan sewenang-wenang kepada anak buahnya maupun warga masyarakat. Maka tidak mengherankan jika kita pernah mendengar kasus walikota yang menampar wartawan ataupun kepala desa yang dengan mudahnya mengancam warga jika kebijakannya tidak disetujui.


Memang tidak semua pendidikan berbasis militer membawa dampak negatif, tentu banyak hal yang dapat ditimba dari pendidikan berbasis militer yang benar. Namun dalam konteks IPDN sebagai lembaga pendidikan tinggi yang mencetak calon pegawai negeri sipil yang siap memimpin dan melayani rakyat, tidak selayaknya mengusung praktek-praktek kekerasan dengan dalih pendidikan militerisme.


Disaat masyarakat sedang melek politik, negara sedang menjunjung tinggi kemerdekaan berbicara, disaat demokrasi diusung disana-sini, justru di baraknya sendiri terjadi pembunuhan massal terhadap demokrasi dan pelanggaran besar-besaran terhadap HAM (Hak Asasi Manusia).


Lembaga pendidikan ini mengaku lulusannya telah menduduki jabatan pada jenjang menengah ke bawah pada jajaran pemerintahan propinsi maupun daerah kabupaten/kota. Lembaga pendidikan yang mengaku  mempunyai komitmen untuk mendidik kader Pimpinan Pemerintahan (Pamong Praja) melalui pendekatan akademik dan praktis ini sudah waktunya berkaca dan mematut diri. Masih pantaskah keberadaannya diakui sebagai lembaga pendidikan yang siap melahirkan para calon abdi negara yang siap mengayomi dan melayani rakyatnya? Bahkan anak SD yang ikut mendemo kasus IPDN pun sudah bisa menilai, bahwa kekerasan yang di usung hanya akan membawa sengsara rakyatnya.


Dalam kurikulum IPDN disebutkan bahwa lulusan atau alumni IPDN diharapkan memiliki tiga kompetensi dasar yaitu: Kepemimpinan (Leadership), Kepelayanan (Stewardship), dan Kenegarawanan (Statemanship). Sekilas terdengar seperti sebuah slogan besar yang cukup ideal, namun dalam konteks pendidikan slogan tersebut menjadi nol besar manakala konsep ketaatan beragama diabaikan. Tidak aneh jika dalam sebuah data yang berhasil dihimpun sebuah media massa disebutkan bahwa terjadi sekitar 660 kasus seks bebas dan lebih dari 35 kasus pembantaian di dalam kampus IPDN. Innalillahi wa innailaihi roji’un.


Selayaknya IPDN menjadi model pendidikan bagi lembaga-lembaga pendidikan di seluruh penjuru negeri ini. Kampus dengan fasilitas lengkap dan atribut kehormatan serta kemewahan ini sudah sewajarnya melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa yang mumpuni di bidangnya, yang setiap lulusannya memiliki orientasi membangun negara yang telah membiayai pendidikannya.


Namun yang terjadi justru sebaliknya. Saat ini masyarakat sedang mengalami krisis kepercayaan terhadap pemimpin-pemimpin bangsanya. Berapa besar biaya yang diambil dari uang rakyat dihabiskan hanya untuk mencetak para calon pemimpin arogan! Pemimpin tukang pukul? Kasus IPDN kali ini seakan menjadi jawaban yang transparan atas seluruh carut marut yang terjadi di negeri ini.


Jika pada kasus Ery Rahman para pelaku kejahatan berhasil lolos dari pengadilan bahkan diluluskan oleh STPDN dan telah bekerja di lingkungan Departemen Dalam Negeri, maka untuk kasus kali ini hukum harus bertindak tegas. Para pemimpin negara harus menegakkan keadilan dan memperjuangkan aspirasi rakyatnya. Saat inilah masyarakt menilai, citra pemimpin bangsa dipertaruhkan.


Sudah saatnya IPDN ‘dibersihkan’ dari muka bumi ini agar tidak lagi menyandang status Institut Pembunuh Dalam Negeri atau Institut Pendidikan Debus Nusantara atau kampusnya para binatang. Agar rakyat tidak lagi merasa dikhianati oleh pemimpinnya sendiri.


Wallahu’alam bishawab.


Nurul Wahidah, S.Pd


A mother who considers IPDN HARAM for her kids


 

3 comments:

  1. Artikel ini bagus dalam mengkritisi apa yang terjadi, terlihat punya data,sitimatis dan emosional yang meletup-letup

    abu maryam

    ReplyDelete
  2. kalau menurut saya bukan organisasinya yang salah, melainkan OKNUM yang ada di dalam IPDN yang merasa besar kepala dengan systemn ya

    ReplyDelete
  3. Semoga memang oknumnya aja, tp oknum itukan dibentuk oleh sistemnya.Karena itu tdk aneh dosennya jg byk yg ga tahan di IPDN alias STPDN

    ReplyDelete