Sunday, March 11, 2012

Ini Galauku

Galau? Beberapa waktu ini kata itu sering sekali kutemui di status teman-teman FB, terutama status siswaku yang notabene teenagers. Dan aku baru tau rasanya galau itu, tak enak makan dan tak nyenyak tidur, bukan begitu? Dan tulisan ini bukan untuk berbagi galauku, ini sekedar sharing berharap galau ini terurai dengan berbagi cerita.

Tak terasa beberapa bulan lagi anak lelaki semata wayangku akan menghadapi Ujian Nasional tingkat SD. Rasanya baru kemarin kami daftarkan masuk SD, ternyata sekarang sudah hampir lulus lagi. Tahun ini begitu banyak perkembangan kemampuannya baik secara akademik, mental maupun spiritualnya. 

Fathan bukan lagi lelaki kecil imut-imut yang dulu sering kucium-cium. Sekarang anak lelakiku sudah akan genap 12 tahun pada September nanti, Fathan sudah akil baligh,  begitu menurut pengakuannya. O..oww umminya macam kena tilang kalau sembarangan peluk-peluk dan cium-cium dia seperti dulu, apalagi kalau aku pakai baju lengan pendek dan celana legging saja dirumah…
waaah macam ngebut menerobos lampu merah rasanya, FEEL GUILTY!

Bulan Juli nanti Fathan Insya Allah masuk SMP. Bukan system UN yang bikin aku galau, tapi justru system yang ada pada SMP Negeri saat ini. Sedikit banyak aku bergelut dalam system ini, mengingat aku mendapat amanah Negara untuk mengajar di SMP Negeri di Bandung. Banyak hal yang membuatku galau, mulai dari muatan pendidikan yang belum islami, pergaulan yang sangat rentan narkoba, free sex dan sejenisnya hingga beberapa aturan baku yang jauh dari nilai islami. 

Salah satunya adalah aturan berseragam celana pendek (3cm diatas lutut) bagi siswa putera. Maka 
jika anak lelakiku bersekolah di SMP negeri tentunya ia harus mengikuti aturan baku ini. Artinya ia harus rela membuka auratnya di usai akil baligh, dan dengan begitu orangtuanya pun harus siap menanggung dosa sepanjang itu berlaku.. Innalillahi…

Tak bisa kubayangkan puteraku yang sudah terbiasa bercelana panjang di SD harus kembali bercelana pendek di SMP. Maka kami harus coret SMP Negeri dari daftar pilihan tanpa mengurangi rasa hormat pada SMP Negeri baik yang RSBI, SSN ataupun bukan. Bukan hanya alasan seragam yang sifatnya teknis (tapi prinsipil buat kami) pertimbangan lainnya adalah bahwa jika sekolah di SMP Negeri maka kupastikan hafalan Qur’an dan hadits serta pembiasaan sholat dhuha nya akan lepas begitu saja mengingat tidak ada muatan hafidz Qur’an di SMP Negeri dan lemahnya kami sebagai orangtua dalam menjaga pembiasaan tersebut.

Maka saat anak lelakiku di awal kelas 6 dulu berniat ingin masuk Gontor, bahagianya rasa hati kami sebagai orangtua. Namun Bahagia itu jadi galau manakala tiba-tiba diawal semester dua ini ia bilang kalau NEM nya bagus mau masuk SMPN 2 atau SMPN 5 . Kami pikir SMP Negeri adalah pilihan 
yang bagus manakala orangtua mampu menjaga hafalan Qur’an serta akhlakul karimah putra-putrinya. Namun karena aku hafal benar bagaimana ‘fragile’ nya system pendidikan (bukan pengajaran looh) di sekolah negeri maka kami harus bisa mengalihkan mimpi putra kami. Maka mulailah di bulan Februari lalu kami berwisata ke Islamic boarding school yang ada di kuningan, Garut dan Bandung. Alhamdulillah wisata pesantren tersebut membuahkan hasil, kaka Fathan dengan mantap berujar “INSYA ALLAH aku mau pesantren”. Subhanallah, galauku berakhir sudah…

Namun bagaimana nasib putra bangsa yang lain???

2 comments:

  1. Mungkin kalo ortunya kyk mbak yg "maksa" dg cr halus, anak2 lain bs tahu kalo pendi2kan agama jg penting, hehe.. suka tulisannya.. :)

    ReplyDelete
  2. makasihh mba
    karena kewajiban ortulah untuk memberikan lingkungan yang baik pada anak maka tanpa *memaksa* perlahan-lahan kami membentuk visinya agar sama dgn ortunya he..he...

    ReplyDelete