Monday, March 26, 2007

Sharing

Desperate mothers #2


Jantungku serasa berhenti berdetak, tubuhku mendadak dingin, lemas seketika mendengar penuturan wanita dihadapanku.


  “Saya mengerti sekali Neng Nurul, saya tidak menyalahkan ibu di Malang itu. Saya sangat memahami mengapa ia sampai pada keputusan itu,” Bunda Zaqi mulai bertutur. “Enam bulan setelah bapaknya anak-anak meninggal, saya pernah hampir meracuni ketiga anak saya, saya juga mau gantung diri.”


Aku mencoba untuk tidak ikut menangis saat kata-kata terakhir Bunda Zaqi keluar bersamaan titik-titik air mata mengalir dari sudut matanya.


 “Waktu itu rasanya saya ingin mengakhiri semua duka dan rasa sakit ditinggalkan bapaknya anak-anak. Saya ingin mengajak anak-anak berkumpul lagi dengan bapaknya, dari pada hidup dalam kesengsaraan tanpa bapaknya.” Mata Bunda Zaqi berkaca-kaca lagi. “Tapi Alhamdulillah, yang membedakan saya dengan ibu di Malang hanya IMAN. Saya masih punya iman, saya punya Allah yang menolong dan mengangkat kami untuk bangkit kembali. Saya dibangunkan putra sulung saya dari mimpi buruk berkepanjangan. Selama beberapa bulan itu kami mengurung diri di kamar masing-masing. Saya sibuk dengan duka lara sendiri, sampai luput memperhatikan ketiga putra saya yang juga masih sangat berduka. Terutama Faqih, si sulung. Ternyata selain menangisi bapaknya, ia juga menangisi ibunya yang kehilangan cahaya hidup.Walau masih kelas 1 SMP si sulung sudah bisa mengingatkan ibunya, bahwa saya harus bangkit. Alhamdulillah, saya mulai berpikir kalau saya kehilangan cahaya maka anak-anak akan hidup dalam kegelapan, Naudzubillahi min dzalik...” Bunda Zaqi mengakhiri ceritanya dengan senyum hangatnya. Senyum yang kutahu pasti, diinfaqkan dengan penuh perjuangan karena disudut matanya duka itu masih membekas dalam.


Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami (QS. Al-Anbiya’ (21):35)


Walau tragedi desperate mothers terasa pahit dan begitu mencekik nurani, pasti Allah memperlihatkan yang terbaik bagi ummat-Nya. Pada akhirnya jika seluruh bencana yang menghampiri dan tragedi yang beruntun itu tidak cukup membuat kita ‘terbangun’ dan berpikir, maka kita termasuk orang-orang yang merugi (Na’udzubillaah..)


Dan jika setiap kita menutup mata atas tragedi ini maka akan tiba masanya kehancuran sebuah negeri, pasti! Bukankah Rasul mengingatkan bahwa seorang ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya dan lebih dari itu seorang ibu adalah sebuah tiang pancang bagi berdirinya sebuah negeri yang kokoh. Karena itu sebagai seorang ibu, rasanya aku malu menatap tragedi ini dari jauh tanpa tahu harus berbuat apa. Andai aku seorang presiden RI mungkin sudah ku minta menteri pemberdayaan perempuan untuk merangkul seluruh perempuan, seluruh ibu agar merapatkan barisan untuk saling mengokohkan hati dan ‘memuliakan’ diri. Andai aku seorang putri cendana mungkin sudah kubagikan harta tujuh turunanku to rescue them. Andai...


Alhamdulillah aku bukan seorang presiden RI ataupun putri konglomerat kelas kakap itu... Aku hanya seorang ibu bagi putra putriku, yang sedang belajar menjadi arif membaca ayat-ayat kauniyah-Nya.


Jika menyelami lebih dalam tragedi ini, maka dari setiap kasusnya kita dapat membaca benang merah yang berkelindan. Iqro...


Walau bukan seorang psikolog, tapi boleh kan pinjam kacamata para psikolog kondang   . Supaya bisa membaca lebih jelas “what was happening with you mom? What is it going on all over the world ? ”


Causative Factors


Since antiquity, the decision of putting an early end to one's own life has intrigued many philosophers and clinicians.


Alhamdulillah aku bukan philosophers ataupun clinicians, yang patut mengkaji lebih dalam...


Aku hanya seorang ibu yang sedang belajar iqro dengan arif...


Jika seekor harimau lapar memangsa bayinya sendiri mungkin karena tidak ada lagi yang bisa dimangsanya sebagai pengganjal perutnya. Atau jika seekor ikan mas koki memangsa telur-telurnya sendiri tentu karena sunnatullah azas rantai makanan yang berputar. Tapi kalau seorang ibu manusia sampai mengakhiri hidup anak-anaknya sendiri, maka pasti ada yang hilang atau mati dalam dirinya. Entah itu jiwanya, ruhnya, akal sehatnya atau bahkan lingkungannnya, masyarakat di sekelilingnya.


Saat ini fenomena bunuh diri ini tidak lagi hanya ditinjau dari filosofi moral tapi meluas hingga tinjauan medis, biologi, psikologi dan sosial. Selayaknya masyarakat ‘dicerdaskan’ dengan tinjauan ini sehingga terurailah benang kusut dan terjalinlah benang merah yang indah. Hingga pada akhirnya membimbing ummat keluar dari nuansa muram (desperations).


Imitasi


Inilah fakta di era informasi. Kini kecenderungan orang melakukan bunuh diri kian tinggi. Bahkan, orang bisa memutuskan bunuh diri hanya karena ia menonton berita bunuh diri di televisi atau membaca koran. Ironinya, berita itu justru menginspirasi. Dapat dipastikan bahwa jumlah kasus bunuh diri justru meningkat tinggi setelah berbagai media massa menjamur dan begitu aktif, responsif, serta permisive bahkan terkesan out of order dan serabutan mengemas beritanya (ini juga salah satu alasan aku malas nonton berita   n cukup selektif memilih tayangan untuk anak-anakku).


Terjadi difusi informasi disana-sini telah memicu terjadinya proses imitasi ini justru karena peran media massa. Meskipun langkah bunuh diri ini merupakan keputusan pribadi seseorang, namun sangat besar kemungkinan media massa  dan masyarakatlah yang menuntun para desperate mothers ini sampai pada keputusan ini. Maka pertanyaannya adalah, siapa yang harus bertanggung jawab terhadap semua ini?


Sosiologi


Kondisi sosial ekonomi, kebiasaan, dan peristiwa kehidupan bisa bermuara pada tindakan bunuh diri. Bahkan social forces memiliki peran fundamental yang sangat mempengaruhi tindakan ekstrim ini. Menurut Durkheim (ini pasti psikolog kondang!) ada 3 tipe suicide berdasarkan peran sosial: egoistik, altruistik (memprioritsakan pandangan orang lain), dan anomik (penyimpangan yang muncul karena frustasi). Untuk penjelasan 3 tipe ini sepertinya aku tidak berwenang ya menjelaskannya, bisa tanya langsung ke Mr. Durkheim  .


Yang pasti hubungan sosial yang terjalin di masyarakat memiliki peran besar dalam proses pemberian stigma ini. Maka setiap kita, sebagai masyarakat sosial selayaknya peduli untuk menengok lebih dalam pada realitas yang terjadi.


Psikologi


Suicide merupakan salah satu prilaku psikologis yang berawal dari depresi. Depresi dalam teori psikoanalisis merupakan prilaku menenggelamkan diri sendiri (menghukum) yang mekanismenya berawal dari rasa malu, rasa bersalah ataupun rasa kehilangan dan kesedihan mendalam.


Dalam teori psikoanalisis, ‘depresi’ bisa dipicu dari konflik yang berkepanjangan, rasa kehilangan yang mendalam, serta perubahan dalam hubungan intra dan interpersonal seseorang. Triggers tersebut kerap melahirkan fantasi-fantasi liar seperti menyakiti diri sendiri ataupun orang lain bahkan membunuh dan bunuh diri.


Menurut Jung (Ini juga pakar kejiwaan sebagaimana Freud), pada kasus bunuh diri terjadi pergulatan antara insting untuk hidup (Eros) dan mati (Thanatos) yang dimenangkan oleh Thanatos tentunya. Pada proses gulat ini terjadi ketidak harmonian antara pikiran sadar (The conscious mind) dan pikiran bawah sadar (The subconscious mind). Saat inilah syaitan lakanatullah bekerja keras menghembuskan bisikan mautnya. Maka terjadilah tragedi-tragedi itu...


Setiap kita memiliki potensi untuk melakukan apa yang sudah dicontohkan desperates mothers#1. Karenanya keterampilan problem-solving menjadi sangat penting sebagai bekal menghadapi setiap fase kehidupan. Keterampilan ini tidak akan menjadi kemampuan yang utuh tanpa rasa percaya diri (self confidence) dan harga diri (self esteem) serta ketaqwaan yang membentuk mekanisme pertahanan diri yang kuat, yang mampu menghalau segala hasutan syaitan laknatullah hingga mampu terus berdiri menyongsong pertemuan terindah dengan Sang KhalikYang Menggenggam jiwa-jiwa ini, dengan persembahan yang terbaik pada hari yang telah ditentukan-Nya. Insya Allah. Amiin.


Say: "Truly, my prayer and my service of sacrifice, my life and my death, are (all) for Allah, the Cherisher of the Worlds(QS.Al An’am(6):162)


 


 


 


 


 


 


 

No comments:

Post a Comment