Rating: | ★★★★★ |
Category: | Books |
Genre: | Biographies & Memoirs |
Author: | BJ.Habibie |
Ini bukan sinopsis buku Habibie & Ainun, bukan. Aku hanya ingin berbagi cinta yang kurasa pasca membaca habis buku Habibie & Ainun.
Sejak pertama kali mendengar akan terbitnya buku ini, aku sudah request pada marketing Gramedia Merdeka untuk confirm segera jika bukunya sudah terbit, Alhamdulillah tanpa harus membeli aku sudah bisa membacanya alias PPT (Pinjam Punya Teman, hatur tengkyu bu Titi ) :D
Aku merasa perlu membacanya bukan karena aku mengenal sosok ibu Ainun secara personal ketika masih menjadi guru private cucu beliau, tetapi lebih karena aku mengagumi sosok keibuannya yang luar biasa. Dari beliau aku belajar menjadi ibu sepenuhnya (full time mother).
Disela kesibukannya sebagai seorang istri engineer, istri menristek hingga menjadi ibu negara, beliau tetap mengutamakan keluarganya, tetap menyiapkan sarapan pagi suami, keperluan sekolah anak-anak (ketika Pak Ilham & Pak Thareq kecil), bahkan tetap menjahitkan pakaian anak-anak dan suami.
Pernah ketika aku dirumah putra beliau saat menjadi guru homeschooling Tiffany, beliau menelpon dari Muenchen, Jerman. Beliau khusus menelpon untuk menanyakan perkembangan Tiffany cucu beliau yang waktu itu masih berusia 2 tahun. Perhatian dan kasih sayang beliau pada anak-anak serta cucunya luar biasa hangat kurasa.
Dimataku peran istri, ibu, dan akhirnya sebagai nenek lebih lekat dalam diri beliau dibandingkan beliau sebagai istri pejabat tertinggi atau sebagai ibu negara. Terasa benar beliau begitu menikmati peran sebagai seorang ibu, ibu bagi anak-anaknya, ibu bagi cucu-cucunya, ibu bagi setiap ibu, dan ibu bagi rakyatnya.
Sebagai seorang dokter ibu Ainun tidak berkarir menjadi dokter saat anak-anak beliau masih kecil meski saat itu penghasilan suami pas-pasan. Bahkan beliau begitu menikmati peran menjadi supir pribadi mengantar jemput anak dan suami ketika di Jerman.
Yang membuatku terkagum-kagum lagi, bapak Habibie menceritakan dalam bukunya bahwa beliau terbiasa bekerja hingga larut malam, sibuk dikamar dengan pekerjaannya dan ibu Ainun senantiasa menemani dengan melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an yang menentramkan hati beliau. Sehingga ibu Ainun terbiasa mengkhatamkan Al-qur’an dalam beberapa hari saja, subhanallah.
Maka ketika bu Ainun divonis kanker servixnya sudah stadium akhir tak heran pak Habibie bertekad menemani beliau tanpa sedetikpun meninggalkannya (kecuali ke kamar mandi). Dan bisa dipahami jika kepergian ibu Ainun memberi duka dalam bagi pak Habibie. Tak berlebihan jika pak Habibie menuliskan bahwa ia dan ibu Ainun manunggal, manunggal jiwa, roh, bathin, dan nurani sepanjang masa sampai akhirat. Membaca buku beliau sungguh cinta itu kurasa kokoh hadir ada,meski ibu Ainun telah tiada.
Habibie & Ainun bukan saja mengajarku tentang cinta sejati tapi juga membantuku menemukan jawab atas gundahku saat mendapat tawaran bea siswa penelitian ke Jepang bulan Maret ini. Penelitian yang memakan waktu tidak sedikit ini cukup menggiurkan namun tak sebanding jika aku harus meninggalkan baby Falisya yang masih ASI. Kesempatan mendapat beasiswa Insya Allah akan datang silih berganti namun mendapat kesempatan menjadi ibu dan mampu menyusuinya tak selalu bisa datang setiap waktu. Terima kasih Pak Habibie atas bukunya, terima kasih ibu Ainun atas cintanya.
Duhai Allah kekasihku yang Maha Rahmaan nan Rahiim, karuniakanlah aku kesabaran untuk dapat mencintai dengan Rahmaan dan Rahiim-Mu ya Kekasih...karuniakanlah aku hidayah dan inayah-Mu dalam memutuskan pilihan-pilihan dalam hidup ini...
SUBHAANALLOH .. ^ ^
ReplyDeleteApa kabar, Bu? ...
ReplyDeleteAlhamdulillah kabar baik mba sovi, miss u so...
ReplyDelete