“ Jujur Da, kamu ikut aliran kotor itu?” suara nenekku lembut tapi terdengar tegas dan menusuk jantungku. Aku diam seribu bahasa. Aliran kotor? Kepalaku tiba-tiba seperti diputari gasing berduri. Aku tak habis pikir, informasi yang nenekku peroleh mengenai ilmu baruku di sebutnya aliran kotor. Astaghfirullah…hatiku hanya mampu beristighfar sementara nenekku terus menceramahiku panjang lebar.
“Orang-orang bilang kalau mempelajari ilmumu itu, berarti kamu termasuk pengikut setan yang senang dengan darah kotor Da. Katanya itu bikin orang sehat, tapi nyatanya itu bikin orang sakit Da. Badannya ditusuk-tusuk, darahnya dikeluarkan padahal orangnya sehat. Hati-hati da kamu bisa dilaknat Allah . Jangan coba-coba dipraktekan Da, sudah dibuang saja ilmunya”, nenekku terdengar cemas. Aku tahu nenekku marah karena beliau sayang padaku, beliau tak ingin aku terjerumus pada aliran-aliran sesat yang mengaku Islam namun mengajarkan kesesatan melalui ibadah yang bid’ah ataupun yang tidak jelas sumbernya. Tapi untuk yang satu ini rasanya aku tak bersalah, dan tak beralasan untuk diceramahi apalagi di cap aliran kotor. Aku hanya mengikuti sunnah Rasul, mempelajari dan mempraktekan sunnah rasulullah SAW, salahkah?
“ Sudah berapa orang yang kamu ambil darahnya Da?” suara nenekku menerobos kepalaku yang masih berdesing. Aku masih diam tak menjawab. Air mataku jatuh satu-satu, kutahan tapi tak bisa. Nenekku semakin khawatir, mengelus punggungku sambil terus menasehatiku untuk kembali ke jalan yang benar. Aku hanya bisa menggigit bibirku agar tangisku tidak meledak.
Sore itu aku pulang kerumahku dengan sesak didada. Sejuta rasa sesal berkecamuk. Bukan sesal karena aku telah belajar ilmu baru itu, bukan. Tapi penyesalan mendalam karena aku tak bisa berkata-kata saat nenekku menghakimiku dengan sebutan aliran kotor itu. Penyesalan yang begitu besar karena aku membiarkan nenekku tercinta larut dalam ketidak pahamannya. Penyesalan tiada terkira karena aku hanya diam seribu bahasa, bahkan tak berani menyampaikan bahwa aliran kotor itu punya nama yang cantik yakni ‘Al hijamah’.
Sore itu, sepuluh tahun yang lalu aku pulang dengan seribu sesal yang kubawa hingga hari ini. Sesal yang tiada berakhir karena tak sempat ku kenalkan indahnya berbekam pada nenekku yang saat itu masih sehat. Nenekku sekarang sudah hampir berusia 90 tahun dan sudah terbaring lemah di pembaringan karena stroke yang mendera 3 tahun lalu. Nenek sudah sangat lemah untuk diajak bicara panjang lebar apalagi harus mendengar penjelasan tentang apa itu Al Hijamah.
Sepuluh tahun yang lalu bekam masih belum sepopuler sekarang. Bekam hanya milik komunitas tertentu yang mengkaji Islam lebih dalam. Dulu memar di pelipis bekas berbekam masih dianggap aneh, di anggap nyeleneh. Sekarang Bekam sudah sangat popular, kliniknya sudah menjamur, bahkan praktisi bekam bukan saja dari kalangan mahasiswa/i, tapi juga pengusaha, pendidik sampai keum elit politik yang melek sunnah dan hadits.
Sepuluh tahun yang lalu, pertama aku belajar bekam dan membuka praktek bekam kecil-kecilan. Senang mengamalkan sunnah Rasulullah yang satu itu bersama suamiku. Namun ternyata kesenangan itu harus diiringi keberanian dalam berdakwah. Berani mempraktekan ilmunya, maka harus berani mempertanggung jawabkan secara ilmu dan amal.
Aku sungguh menyesal karena sepuluh tahun yang lalu aku tak cukup berani menyampaikan kebenaran itu. Aku sungguh menyesal karena tak sempat kusampaikan bahwa ‘Al Hijamah atau Bekam adalah Sunnah Rasulullah SAW. Tak sempat kusampaikan bahwa Rasulullah bersabda "Kesembuhan (obat) itu ada pada tiga hal: dengan minum madu, pisau hijamah (bekam), dan dengan besi panas. Dan aku melarang ummatku dengan besi panas." (Hadist Bukhari).
Saat itu tidak ku beri kesempatan nenekku mengenal Al Hijamah, ku biarkan nenekku dengan pemahamannya saat itu. Andai saja kujelaskan perlahan bahwa bekam itu pengobatan cara Nabi. Bekam itu teknik pengobatan dengan jalan membuang darah kotor dan racun yang berbahaya dari dalam tubuh melalui permukaan kulit. Bekam itu tidak berbahaya dan bekam itu bukan aliran kotor. Andai saja…
Namun penyesalan itu mengajarkanku banyak hal, salah satunya adalah mengajarkanku untuk berani menyampaikan kebenaran itu meski pada yang lebih tua, meski pada yang lebih pandai, meski pada yang lebih kaya, meski pada yang lebih tahu. Karena mengetahui kebenaran adalah hak setiap kita, dan menyampaikan kebenaran adalah kewajiban setiap kita. Wallahu’alam bishawab.